Senin, 22 November 2010

Rasialisme terhada orang Tionghoa di Indonesia, pasca peristiwa G-30-S

Akhir-akhir ini muncul posting di luar negeri yang mendapatkan banyak tanggapan tentang usaha-usaha yang mengarah kepada Rasialisme terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia. Posting ini sebenarnya baru ditulis sebagai reaksi terhadap wawancara dengan Ki Gendeng Pamungkas September 2008. Rasialisme terhadap orang Tionghoa di Indonesia yang paling sistematis dilakukan oleh Pemerintahan Soeharto/Orde Baru sejak 1966/67 dan berlangsung selama 30 tahun. Tapi, sejak Reformasi tahun 1998 Rasialisme terhadap orang Tionghoa ini telah dihapuskan. Marilah kita meneliti kembali hal ini, supaya kita mengerti permasalahannya.

Peristiwa G-30-S pada tahun 1965, yaitu penculikan dan pembunuhan 6 perwira tinggi dan 1 perwira menengah Angkatan Darat oleh kelompok yang menamakan dirinya Gerakan 30 September, oleh Presiden Soekarno waktu itu dianggap hanya riak-riak kecil yang mengganggu Revolusi Indonesia. Ternyata peristiwa ini adalah peristiwa besar, karena tak kurang dari CIA sendiri yang ikut bermain di dalamnya. Pada masa Perang Dingin dengan Uni Sovyet, Amerika Serikat berusaha keras membendung pengaruh komunisme RRC dan Uni Sovyet di manapun di dunia, termasuk di Indonesia. Kepada Soeharto, CIA memasok daftar nama anggota PKI yang harus dihabisi. Bagaimana permainan itu berlangsung, betulkah PKI yang mendalangi peristiwa ini? Mengapa PKI dan Letkol Untung serta sekelompok kecil tentara berani melakukan coup yang konyol itu tanpa konsolidasi sama sekali sebelumnya? Apakah mereka hanya dijadikan kambing hitam, oleh dalang lainnya? Sampai sekarang, peristiwa ini belum terungkap jelas seluruhnya.

Kejadian ini menjadikan Soeharto yang tadinya tidak dikenal, menjadi penguasa rezim yang baru, yang disebut Orde Baru. Seraya menuduh PKI dan Pemerintah RRC sebagai dalangnya, dia mengambil tindakan sapu bersih, atau dikenal dengan strategi "Tiji Tibeh" atau Mati Siji Mati Kabeh. Sekitar 1 juta orang yang terbunuh, konon kabarnya sampai sungai-sungai berwarna merah karena darah anggota PKI yang dibantai. Dengan tindakan drastis ini Soeharto mau memastikan bahwa lawan-lawannya sudah habis. Tak hanya itu, yang diduga terlibat secara tidak langsung sebanyak puluhan ribu orang dipenjarakan di Pulau Buru. Sedangkan keturunan atau kerabat kaum PKI juga diawasi dengan ketat oleh Intelijen negara. Mereka ini jangan harap dapat menjadi pegawai negeri apalagi terjun ke politik, karena dianggap "tidak bersih lingkungan", atau dianggap terkontaminasi dengan ajaran komunis yang bagaikan momok sejak saat itu. Pemerintah Orba juga mengeluarkan peraturan untuk membuat "Surat Tidak Terlibat G30S/PKI" bagi yang akan sekolah atau bekerja. Tiji Tibeh juga bisa diartikan sebagai "Mukti Siji Mukti Kabeh" atau kaya satu kaya semua. Ekonomi Indonesia pada jaman Orde Baru berazas kapitalisme, dan mementingkan ekonomi makro. Maka muncul konglomerat-konglomerat baru, termasuk putra putri Soeharto yang mendapatkan fasilitas dan kemudahan.

Bagaimana dengan RRC yang juga dianggap dalang G-30-S ? Serta merta Pemerintah Orba memutuskan hubungan diplomatik, dan kedutaan RRC di Glodok diobrak-abrik. Bagaimana pula nasib orang Tionghoa yang ada di Indonesia? Orang Tionghoa juga terkena akibatnya. Sekolah Pei Hwa, Nan Hua di Bandung dan di tempat lain diserbu dan diambil alih. Semua yang berbau China dilarang, buku-buku apapun, plang toko, atau apapun yang beraksara China harus dimusnahkan. Kebudayaan China seperti liong dan barongsai yang sudah berabad-abad umurnya di Indonesia dilarang. Hanya Kelenteng yang mungkin yang menyisakan atribut China. Hal ini tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina dilakukan di Indonesia, pengubahan sebutan kata Tionghoa-Tiongkok menjadi Cina dan mengubah sebutan negara Republik Rakyat Tiongkok menjadi Republik Rakyat Cina. Sebutan Tionghoa menjadi barang haram, sehingga harian Indonesia Raya dan harian Merdeka dibredel, karena berani menggunakan sebutan Tionghoa, bukannya Cina seperti yang telah ditetapkan Pemerintah. Bayangkan, sampai kegiatan keagamaan yang merupakan hak azasi dilarang. Agama Khonghucu dan Taoisme yang dianut kebanyakan orang Tionghoa pun tidak diakui, dan penganutnya terpaksa bernaung di dalam agama Buddha.

Tahun itu pula dikeluarkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 yang isinya menganjurkan bahwa WNI keturunan yang masih menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama Indonesia sebagai upaya asimilasi. Hal ini didukung pula oleh Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (padahal banyak anggotanya yang Tionghoa seperti Kristoforus Sindhunata, Karim Oey dll).

LPKB menganjurkan keturunan Tionghoa agar :
- Mau melupakan dan tidak menggunakan lagi nama Tionghoa nya
- Menikah dengan orang Indonesia asli baca pribumi
- Menanggalkan bahasa maupun semua kebiasaan dan kebudayaan Tionghoa dlm kehidupan se-hari2
Seruan ini mendapat kecaman dari kalangan orang Tionghoa sendiri dan cemoohan dari kalangan anti-Tionghoa. Mr. Yap Thiam Hien secara terbuka menyatakan bahwa nama tidak dapat menjadi ukuran nasionalisme seseorang'

Khusus untuk Mengganti Nama tahun 1967, walapun sebenarnya hanya himbauan, tapi sudah merupakan ketentuan yang dipaksakan. Apalagi orang Tionghoa umumnya bersikap pasrah saja dan menurut tanpa banyak bertanya lagi. Tentu saja ada yang menolak karena mengerti Hukum, Mr. Yap Thiam Hien dan Drs. Kwik Kian Gie misalnya tetap menggunakan nama lamanya. Tetapi boleh dikatakan bahwa ada 99% lebih yang mentaati anjuran ini. Anak dari anak generasi berikutnya tidak ada lagi yang memiliki nama Tionghoa.

Jadi orang Tionghoa dianjurkan untuk mengganti nama, berasimilasi, dan melupakan sama sekali kebudayaan China. Kalau pada jaman Bung Karno orang Tionghoa berusaha mendapatkan status sebagai suku atau etnis yang diakui seperti suku-suku lainnya (Jawa, Sunda,Batak dll) maka pada jaman Orde Baru etnis Tionghoa ini dianjurkan untuk melebur ke dalam suku-suku lainnya. Jadi Tionghoa Sunda menjadi orang Sunda, Tionghoa Batak menjadi orang Batak dan lain-lain.

Dengan demikian, secara sistematis pemerintah Orde Baru bermaksud menghancurkan sama sekali kebudayaan Tionghoa dari Indonesia, dan mencabut orang Tionghoa dari akarnya. Di sisi lain, pernikahan dengan pribumi diharapkan akan menghasilkan generasi campuran yang baru dan diyakini lebih loyal kepada Indonesia, tetapi cara ini sangat sulit dilaksanakan karena warga keturunan Tionghoa itu bukanlah binatang ataupun tumbuh-tumbuhan yang mudah dikawin-silangkan.

Pemerintah Orba juga mendirikan Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC). BKMC berada di bawah BAKIN yang menerbitkan tak kurang dari 3 jilid buku masing-masing setebal 500 halaman, yaitu "Pedoman Penyelesaian Masalah Cina" jilid 1 sampai 3.
Dari nama institusinya saja "Badan Koordinasi Masalah Cina" kelihatan betapa Pemerintah telah menyatakan tanpa tedeng aling-aling bahwa orang China itu bermasalah dan identik dengan masalah. Pemerintah Orba dengan dengan tegas menganggap keturunan China dan kebiasaan serta kebudayaan China sebagai "masalah" yang merongrong negara dan harus diselesaikan secara tuntas. "Sifat" orang China dikatakan suka menyogok dan berkolusi sampai-sampai muncul istilah "Alibaba" yang artinya kolusi antara Ali yang pribumi dan Baba atau Babah China. Ini adalah satu saja dari banyak "Masalah Cina" yang katanya hendak dibereskan oleh BKMC. Padahal sifat yang jelek itu adalah sifat pribadi, tidak mungkin suatu suku atau etnis penyogok atau penipu semuanya. Setiap bangsa, suku atau etnis, memiliki orang-orang yang baik maupun orang jahat. Ini hanya akal Orde Baru untuk mencuci otak orang Tionghoa dari kebudayaannya.

Orang Tionghoa dipersulit dan dijadikan warga negara kelas dua. Orang Tionghoa dilarang untuk terjun ke politik. Menjadi tentara diperbolehkan tetapi tidak akan ditempatkan pada posisi penting, dan kenaikan pangkatnya akan sulit. Umumnya sampai pada pangkat tertentu karirnya akan terhenti. Pengurusan surat-surat legal dipersulit secara sengaja. Pada tahun 1993 saya mengurus Kartu Penduduk di Jakarta, karena pindah dari Bandung. Pengurusannya sangat berbelit-belit, harus membuat kartu K1, K2, K3, sampai K17 kalau tidak salah, dan K17 pun ada A,B,C nya lagi. Semuanya itu hanya mempertanyakan kewargaan negara, WNI orang tua, tempat tinggal, terus menerus diulang-ulang. Akibatnya, bila menghadapi orang Tionghoa, pegawai Pemda akan berpatokan pada pepatah "Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?" Hal ini akhirnya turut membudayakan korupsi. Pengurusan KTP itu ternyata harus memakan waktu setahun lebih, dengan biaya 1 juta, kalau sekarang nilainya sekitar 6 sampai 7juta.

Selanjutnya, dalam pengurusan surat apapun seperti pasport, surat tanah, IMB dan lain-lain orang Tionghoa akan selalu dipersulit dengan meminta Surat Ganti Nama, surat WNI, yang tidak ada hubungannya lagi, bukankah ke-WNI-an itu sudah jelas tertulis di KTP ? Kenapa harus dimintakan surat WNI lagi?? Sampai akhirnya kata WNI itu jadi identik dengan Tionghoa, padahal sebetulnya berlaku juga buat pribumi dan keturunan asing lainnya.

KTP pun untuk keturunan Tionghoa berbeda dengan orang lain. Perbedaannya tersamar, tapi petugas akan langsung tahu bahwa anda Tionghoa ketika melihat KTP anda!

Bila ada orang Tionghoa yang melakukan pelanggaran hukum, maka di koran akan dituliskan nama Tionghoanya juga, misalnya "kejahatan itu dilakukan oleh Kurnia Tanujaya alias Tan Tek Boen", sedangkan bila Pahlawan Bulutangkis menang dalam pertandingan, hanya akan ditulis nama Indonesianya saja. Tentu, kalau masih dugaan akan dituliskan inisial seperti KT alias TTB. Tapi orang selalu tahu bahwa alias yang menggunakan 3 huruf kapital mengacu kepada orang China.

Masih banyak hal lain yang diderita orang Tionghoa pada jaman Orba, tidak terhitung dengan sikap sebagian masyarakat yang langsung memaki : Cina lu! bila berselisih dengan orang Tionghoa. Kalau sudah dimaki begitu yang bersangkutan tidak akan berdaya apa2. Jadi bila di jaman Reformasi ini ada yang mau membangkitkan kebencian terhadap orang Tionghoa, maka ini benar-benar kejahatan yang mau membuka luka lama. Menurut Ki Gendeng, orang China merusak bangsa ini. Bagaimana mungkin etnis dapat membentuk karakter atau jahat/tidaknya seseorang ? Memang ada yang disebut stereotype atau sifat suatu etnis secara umum, misalnya sterotype orang China adalah ulet, pandai berdagang. Tapi stereotype bukan menyangkut jahat tidaknya seseorang.

Jadi di jaman Reformasi ini istilah pri dan non pri itu tidak perlu dipersoalkan lagi, sedangkan keturunan China harus diterima sebagai suatu etnis yang unik, secara utuh, lengkap dengan budayanya yang kaya. Semua etnis ini membentuk bangsa Indonesia yang kuat dan bersatu.

Pada jaman Bung Karno ada perdebatan mengenai ketentuan dalam UUD45 bahwa Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli. Presiden Soekarno menanggapinya dengan berkata : "Siapapun warga negara yang mampu dari bangsa ini dapat menjadi Presiden, saya sendiripun tidak tahu, apakah saya ini orang Indonesia asli? Apakah tidak mungkin ada juga darah China atau asing dalam diri saya?". Jadi jelas tidak ada seorangpun dapat mengatakan keaslian keindonesiaannya.